Senin, 31 Mei 2010

BLOG RESMI KERAJAAN SIMPANG

Tepat hari ini tanggal 31 Mei 2010 secara resmi kami meluncurkan blog laman khusus mengenai Kerajaan Simpang. Peluncuran ini sengaja diambil bertepatan dengan tanggal peristiwa Penobatan Raja Simpang ke-7 di Melano, Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara. Semoga dengan peluncuran laman ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat mengenai sejarah Kerajaan Simpang pada khususnya dan dapat menjadi salah satu sarana untuk memperkenalkan perkembangan daerah pada umumnya.
Dua tahun berlalu sejak Penobatan Raja Simpang ke-7 tepatnya tanggal 31 Mei 2008. Hasil mufakat keluarga antara Gusti Ibrahim, Gusti Abdul Muthalib, Gusti M. Mulia, dan Gusti Mastur telah menyerahkan sepenuhnya kepada Drs. H. Gusti M. Mulia bin Gusti Mesir bin Gusti Roem untuk dinobatkan sebagai Raja Simpang ke-7 bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin II.
Peristiwa Penobatan tersebut merupakan momen yang penting ditengah-tengah kondisi masyarakat yang mulai kehilangan identitas khususnya di Kecamatan Simpang Hilir Kabupaten Kayong Utara. Kehilangan identitas dikarenakan semakin hari semakin banyak yang kurang mengenal sejarah, terutama daerahnya sendiri. Hal ini disebabkan kurangnya sumber-sumber bacaan atau tulisan, dan dokumentasi sejarah, serta saksi/pelaku sejarah pada masa lampau yang mulai berkurang menyebabkan semakin kurangnya pengenalan terhadap sejarah daerah terutama dari kalangan muda.
Sejak penyerahan kekuasaan dan aset-aset kerajaan yang dilebur pada tahun 1959 kepada Pemerintah, maka semua inventaris kerajaan/Swapraja menjadi inventaris Pemerintah. Sudah menjadi kewajiban bagi Pemerintah sendiri untuk menjaga dan melestarikan semua aset-aset tersebut. Namun kenyataan sungguh berbeda.
Kurangnya perhatian dari pemerintah tersebut menyebabkan hampir hilangnya semua aset sejarah, adat dan budaya yang pernah ada di Kerajaan Simpang, seperti Istana Simpang yang sudah miring karena tuanya bangunan tersebut sudah diratakan dengan tanah. Belum lagi situs-situs dan makam-makam peninggalan sisa-sisa kerajaan Simpang yang tidak terpelihara. Ditambah dengan pembalakan hutan serta perkebunan kelapa sawit yang lagi santernya sekarang ini yang masuk ke areal pemakaman sehingga merusak makam-makam ataupun situs-situs yang seharusnya dilindungi dan dilestarikan.
Oleh karena itu, dengan adanya acara penobatan tersebut dan terbentuknya Ikatan Kekerabatan Kerajaan Simpang diharapkan akan terjadi hubungan dan kerjasama yang saling pengertian antara pihak Kerajaan yang mewakili nilai-nilai, adat seni dan budaya termasuk situs-situs yang ada di wilayah bekas Kerajaan Simpang, pihak Pemerintah sebagai pihak yang wajib melestarikannya, dan pihak Swasta sebagai pihak yang wajib menjaga agar tidak merusak nilai-nilai dan seni dan budaya yang ada, serta menjaga agar tidak merusak situs-situs yang ada dengan sebaik-baiknya.
Semoga momen penobatan itu tersebut tidak hilang begitu saja, namun dapat menjadi tonggak kerja sama yang kuat antara Pemerintah, Swasta dan pihak Kekerabatan Istana Simpang untuk bersama dalam mengangkat dan melestarikan kembali nilai-nilai luhur, adat, seni dan budaya yang pernah ada di wilayah Kerajaan Simpang.  (Klik beranda untuk membaca sejarah Kerajaan Simpang)

SEJARAH KERAJAAN SIMPANG

Kerajaan Tanjungpura merupakan salah satu kerajaan tertua di Kepulauan Kalimantan yang kedudukannya disejajarkan dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara.
Sumber yang menyatakan tentang keberadaannya dapat dibaca dalam Negarakartagama karangan Mpu Prapanca pada masa Kertanagara (1268 – 1292) dari Singosari dan pada masa Kerajaan Majapahit dengan Sumpah Palapa Patih Mangkubumi Gajah Mada (1258 Saka atau 1336 M).
Namun, para sejarahawan menghadapi kesulitan untuk mengungkap secara lengkap tentang Kerajaan Tanjungpura tersebut. Hal ini disebabkan benda-benda peniggalan yang merupakan sumber yang dapat memberikan keterangan tidak didapati lagi bekas bangunan kerajaan, monumen atau candi-candi, serta situs-situs lainnya, begitu pula dengan catatan-catatan tertulis yang dapat mendukung kebenaran dari cerita-cerita rakyat yang dikisahkan secara turun temurun dari mulut ke mulut.
P. J. Veth dalam bukunya Borneo’s Weater Afdeling, Eerste Deel, yang diterbitkan pada tahun 1854, mengalami kesulitan pula dalam mendapatkan peninggalan sejarah yang banyak untuk memberikan pemahaman lengkap tentang Tanjungpura, bahkan untuk menjelaskan tentang adanya hubungan Tanjungpura dengan keturunan Brawijaya, P. J. Veth mengambil cerita rakyat, tanpa adanya bukti tertulis yang autentik, namun terus hidup dikalangan masyarakat (Tanjungpura Berjuang, 1970:27).
Selain itu kurangnya pemeliharaan terhadap sisa-sisa peninggalan dan situs-situs yang masih ada menyebabkan banyaknya benda-benda peninggalan yang rusak dan hilang, seperti yang terjadi pada situs Kerajaan Matan di Sungai Matan (hulu Sungai Melano), yang sejak tahun tujuh puluhan menjadi sentralisasi pembalakan hutan.
Penyuntingan sekilas ini tidaklah mungkin dapat memaparkan semuanya secara keseluruhan baik tentang kerajaan, raja-raja, maupun keturunannya. Namun, paling tidak hal ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang sejarah yang ada di daerah Kalimantan Barat.

KERAJAAN ULU AIK (HULU AIR)
Penduduk asli Kalimantan Barat ialah suku bangsa Dayak dan suku bangsa Melayu. Suku Dayak lebih dahulu menghuni daerah ini bermukim di daerah pedalaman dan hulu anak-anak sungai. Kemudian datang suku Melayu dari Riau dan Semenanjung Malaka menempati daerah-daerah pantai, pesisir, dan aliran-aliran sungai.
Di hulu Sungai Keriau di Beginci Hulu Air, bermula sebuah kerajaan suku Dayak yang bernama Kerajaan Ulu Aik dengan rajanya yang bernama Siak Bulun (Siak Bahulun) yang mempunyai tujuh orang anak angkat, yang tertua bernama Putri Dara Pelimbung, yang kedua Putri Dara Pengumpat, ketiga Putri Suwuk Palunyap, keempat Sadung (laki-laki), kelima Putri Dayang Bepurung, keenam Putri Layung, dan yang terakhir bernama Putri Layang Putung, yang kemudian dialih namanya menjadi Putri Junjung Buih. Dari keturunan Putri Junjung Buih inilah lahir raja-raja Kerajaan Tanjungpura dan raja-raja di Kerajaan Kalimantan Barat.

KERAJAAN TANJUNGPURA
1. Sumber :
a). Mpu Prapanca dalam Negarakartagama menulis: pada masa Kertanagara dari Singosari dengan Maha Patih Aragani dalam merencanakan sistem pertahanan menghadapi politik ekspansi Khu Bilai Khan, membentuk strategi pertahanan Nusantaranya dengan memperluas daerah pengaruhnya atas daerah-daerah: Kerajaan Pahang, Gorong, Nusa Pemida (Bali dan Lombok), dan Bakula Pura (Tanjungpura) dan menempatkan prajurit Singosari di sekitar Riau dan Jambi.
b). Mpu Prapanca dalam Negarakartagama mengenai Sumpah Nusantara Patih Mangkubumi Gajah Mada menyatakan antara lain: “Lamun huwus kalah Nusantara, isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, ring Tanjungpura, ring Maru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, sing Sunda, Palembang, Tumasik, sasana isun amukti palapa.”
c). Selanjutnya Mpu Prapanca menyebutkan pembagian Nusantara Majapahit atas 8 wilayah, Kalimantan masuk daerah III, “Luwas lawan Samudra mwang I lanuri Batan lampung mwang I Barus Yekahhinyang watak bhumi Malaya setanah kapwamateh anut Len tekang nusa Tanjungnegara ri Kapuhas lawan ri katingan Sampit mwang Kuta lingga mwang I Lawai. Kadang danganI Landa Lenri Samedang (Simpang) Tirem tan kasah ri sedu Buruneng ri Tabalung ri Tanjung Kote Lawan ri Malano maka pramuka ta ri Tanjung puri.” (Tanjungpura Berjuang, 1970:30-31)
Dari tiga sumber ini:
- Tanjungpura disebut dengan berbagai nama, yaitu: Bakula Pura, Tanjungpura, dan Tanjungnegara.
- Kerajaan yang masuk Daerah III .adalah : Tanjungpura. Kapuas. Landak, Samedang (Simpang) Malano.

2. Letak Kerajaan Tanjungpura
a). Negeri Baru
Dari beberapa peninggalan sejarah di Negeri Baru (disebut juga Benua Lama) nampaknya daerah tersebut adalah salah satu pusat kerajaan di Ketapang yang dalam tulisan para sejarahwan disebut Tanjungpura atau Tanjung Negara atau Bakulapura dengan ibu negerinya Tanjungpuri.

b). Kayong (Muliakerta)
Karena keadaan sudah berkembang dipilihlah suatu lokasi bernama Kayung sebagai ibukota Kerajaan Matan. Op raad zijner beide vrouwen boude Brawijaya zich eene woning. Niet ver van de plaats waar thans Kayung. De hoopfdplaats van het Matansche rijk (P,J,Veth 1854:187). Penulis Belanda menyebutnya Kerajaan Matan. Sesungguhnya itu Tanjungpura. Nama Matan baru dipakai setelah Sultan Muhammad Zainuddin memindahkan pusat kerajaan dari Sukadana ke Sungai Matan (Ansar Rahman:109-110).

3. Raja – Raja Tanjungpura
a). Brawijaya (1454 – 1472)
Dari Silsilah Kerajaan Simpang Matan yang aslinya ditulis dalam huruf Arab Melayu, disalin sebagiannya oleh Gusti Maerat atas permintaan Gusti M. Saleh Wedana Sukadana tahun 1956, secara panjang lebar menceritakan tentang Raja Ulu Aik, Putri Junjung Buih dan Brawijaya yang berasal dari Majapahit.
Brawijaya keturunan dari Damarwulan. Damarwulan beranakkan Sang Ratu Kencana, Ratu Kencana beranakkan Brawijaya dengan enam saudaranya yang lain. Yang tertua bernama Lang Buana, kedua Jayapati, ketiga Lang Singapati, keempat Jayawani, kelima Indra Wadana, keenam Wijaya Wani, dan yang ketujuh Indra Wijaya.
Karena sulitnya menentukan pilihan sebagai raja, maka diadakanlah ujian atau sayembara yang kemudian dimenangkan oleh Indra Wijaya yang karena kedikdayaannya diberi nama Brawijaya. Timbullah iri hati kelima saudaranya yang tua yang kemudian bersepakat untuk meracuni Brawijaya sehingga seluruh tubuhnya tokak/borok. Akibat racun inilah, Brawijaya (berdasarkan mimpinya) minta dihanyutkan ke lautan besar dalam sebuah rakit. Di tengah rakit dibuatkan tempat untuk berendam selama dalam pengembaraannya. Dia didampingi oleh dua orang patih yaitu Patih Banggi dan Patih Galagundir dan dayang-dayang, dengan perlengkapan yang cukup. Selama berbulan-bulan dalam pelayaran itu, Brawijaya setiap harinya berendam di air asin dan ikan paten belang ulin yang menjilati dan memakan keriping-keriping boroknya. Akhirnya sampailah ia di pantai Selatan Borneo dengan penyakit yang mulai sembuh. Dari kisah inilah keturunan Brawijaya dipantangkan makan ikan paten. Karena di pantai tiupan angin begitu kencang, sedangkan Brawijaya baru sembuh, maka pelayaran dilanjutkan menyisir pantai melalui beberapa muara sungai dan akhirnya sampailah ia memasuki Sungai Pawan dan berhenti di Kandang Kerbau (saat itu belum bernama).
Hampir setiap hari Brawijaya dan kedua patihnya menjala ikan, maka pada suatu ketika mereka mudik jauh kehulu. Sampai pada suatu suak dikibarkannyalah jalanya, maka dirasanya ada ikan dalam jalanya itu, pelan-pelan diangkat jalanya dan dilihatnya hanya sebutir buah kedondong, begitulah sampai tiga suak yang didapatinya hanya buah kedondong itu, lalu dilemparkannya jauh kedarat. Karena sudah terasa jauh mudik kehulu, mereka memusing haluan kembali kebagannya, namun tiba-tiba, patih Banggi yang berada di kemudi menoleh kebelakang melihat ada benda putih hanyut diarus deras, setelah diperhatikan ternyata benda itu sebuah mundam (sejenis mangkok yang bertutup) yang berisi sehelai rambut. Brawijaya mengatakan tentu ada orang dihulu ini. Keesokan harinya mereka melanjutkan mudik, sampai di batang air tidak dapat lalu karena tumpat berisi kumpai (sejenis tumbuhan air), dan setelah direntas, di hulu kumpai itu ada pula pupuk air (buih air) yang memenuhi permukaan sungai. Di dalam pupuk air itu ada putri Layang Putung hanyut di dalam Gong yang hendak mencari rambutnya yang hanyut dalam Mudam ketika mandi di pangkalan. Kemudian dengan izin ayah angkatnya Siak Bulun, Layang Putung di bawa Brawijaya ke tanah Jawa. Dengan takdir Allah, Layang Putung yang kudung kaki tangannya sembuh setelah di-lamin tiga kali tujuh hari, maka dialihlah namanya menjadi Tuan Putri Junjung Buih. Dari sinilah asalnya adat me-lamin anak perempuan setelah datang bulan.
Setelah diadakan pembagian kekuasaan dan harta kerajaan serta rakyatnya, Brawijaya menjadi Raja di Borneo, membangun Kerajaan di Benua Lama, dan Wijaya Wani menjadi Raja Majapahit, sedangkan saudara-saudaranya yang meracuni dihukum untuk mengabdi kepada Brawijaya dan tidak boleh durhaka. Kelimanya dihukum dengan hukuman Lima Suku sepanjang keturunannya. Setiap suku itu diberi pangkat, yang tua Maya Agung yang berkewajiban menerima utusan yang datang. Dia adalah hulubalang pertama, wakil raja, menangani hal-hal yang besar termasuk perang dan menggelar raja. Kedua Mengkalang yang bertugas menalangi raja terhadap hal-hal yang tidak dapat dilakukan raja, dan menalangi Maya. Ketiga Priyayi, rerahi-muka raja, menjadi raja sehari ketika raja wafat sedang belum ada penggantinya. Suku keempat adalah Siring yang menjadi pengiring raja dan pemegang pusaka raja. Suku kelima diberi pangkat Mambal yang bertugas menambal hal raja, menambal adat, menambal sarana yang rusak. Kelima suku inilah yang berhak dalam menyelenggarakan prosesi pengangkatan dan penobatan raja.

b). Bapurung (1472 – 1487)
Putri Junjung Buih melahirkan dua putra, Bapurung dan Brangga Sentap. Pada zaman Raja Bapurung, Kerajaan Tanjungpura seperti bunga mawar yang harum baunya, negeri yang makmur dengan penduduk yang ramai dan menguasai daerah yang luas di Kalimantan Barat. Pada masanyalah kisah Kedondong yang menutupi sebagian wilayah kerajaan sehingga menjemur padi sampai ke Batu Ampar dan Padang Tikar. Kedondong ini ditebang oleh Brangga Sentap dengan Beliung Timah yang menjadi landasannya adalah tujuh orang perempuan hamil bungas (hamil pertama). Itulah pohon kedondong yang berasal dari buah kedondong yang tiga kali masuk dalam jala Brawijaya dan dilemparkannya kedarat.
Raja Bapurung menikah dengan Putri Banjar bernama Dayang Silor. Dari Dayang Silor ini lahirlah empat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan, yaitu: Karang Tunjung (Junjung), Pangeran Sedang Mandap, Pangeran Purba, dan Ratu Sinuhun.

c). Panembahan Karang Tunjung (1487 – 1504)
Karang Tunjung kawin dengan Putri Kilang dari Brunei, mempunyai anak yang bergelar Sang Ratu Agung. Pada zaman Penembahan Karang Tunjung inilah Kerajaan Tanjungpura di Benua Lama dialihkan ke Sukadana yang letaknya sangat strategis, ditepi pantai yang terbuka, hubungan komunikasi dan perdagangan akan lebih berkembang sehingga menjadikan Sukadana Bandar perniagaan yang ramai.

KERAJAAN SUKADANA
1. Sumber:
Dalam Negarakartagama, pada masa Kerajaan Singosari dan Majapahit dengan Sumpah Palapa, belum ada menyebutkan Sukadana, yang ada hanya Landak Kendawangan, Kapuas, Simpang Melano. Sejarah Indonesia mulai banyak menyebut Sukadana ketika dihubungkan dengan kerajaan Islam Makasar. Dengan jatuhnya Kerajaan Islam Makasar (1669), maka Sukadana menjadi Bandar perniagaan yang ramai dan menjadi salah satu pusat perdagangan, sehingga mulai banyak dikenal.

2. Raja – Raja Sukadana
a). Penembahan Karang Tunjung (1487 – 1504)
Dinasti Brawijaya beragama Budha, dan gelar Penembahan baru dimulai pada masa Raja Pertama Karang Tunjung sekitar abad 15 dimana saat itu Sukadana mulai berkembang menjadi kota perniagaan yang ramai, sehingga perekonomian dan kemakmuran rakyatnya semaking meningkat. Menurut cerita Karang Tunjung itu apabila malam dia tidur didalam kelopak bunga Tunjung (Tanjung) maka namanya Karang Tunjung.

b). Gusti Syamsudin/Pundong Prasap bergelar Penembahan Sang Ratu Agung (1504 – 1518)
Pada masa kekuasaan Sang Ratu Agung (putra Penembahan Karang Tunjung) Sukadana semakin maju dan berkembang. Dia dinamai Pundong Prasap karena waktu pagi dan sore hari badannya mengeluarkan asap. Pada masa Panembahan ini Gelar Gusti mulai dipakai.
Gelar di lingkungan Kerajaan bukanlah menunjukkan kasta, tapi berupa ikatan kekerabatan, menganut garis lurus/garis laki-laki atau garis Bapak (Patria Chard). Sebagai contoh ;
- Bapak bergelar Gusti; anak laki-laki bergelar Gusti, yang perempuan bergelar Utin.
- Bapak bergelar Uti; anak laki-laki bergelar Uti, yang perempuan bergelar Utin.
- Bapak bergelar Raden; anak laki-laki bergelar Raden, yang perempuan bergelar Tiak.
- Bapak bergelar Mas; anak bergelar Mas, yang perempuan bergelar Mas.
Itulah gelar kekerabatan di lingkungan istana kerajaan.

c). Gusti Abdul Wahab Bergelar Penembahan Bendala (1518 – 1526)
Penembahan Bendala adalah anak Sang Ratu Agung yang bergelar Penembahan Air Mala. Penembahan Bendala seperti raja-raja sebelumnya memajukan dan memakmurkan Sukadana. Hampir semua bidang kehidupan rakyat mendapat perhatiannya, seperti dalam bidang pertanian, perdagangan, dan kelautan.

d). Penembahan Pangeran Anom ( 1526 - 1533)
Sewaktu Panembahan Bendala yang masih muda itu meninggal dunia, putra mahkota yang bakal menjadi penggantinya masih kecil, pemerintahan dipangku oleh adiknya Pangeran Anom. Pangeran Anom bergelar Panembahan Sukadana, setelah ia meninggal terkenal sebagai Marhum Ratu. (Ansar Rahman, 2000:114).

e). Penembahan Baroh (1533-1590)
Panembahan Baroh atau dikenal dengan panggilan Pangeran di Baroh. Kata Baroh atau di Baroh bukanlah nama, tapi gelar atau panggilan. Kata ‘di’ menunjukkan tempat. Kata Baroh artinya tempat yang rendah/dibawah. Penembahan Baroh merupakan pendiri Kerajaan Matan yang berada di hulu Sungai Melano di Sungai Matan.
Menurut P. J. Veth, sisa reruntuhan Kota Matan yang dibangun oleh Penembahan Baroh terdapat di daerah Simpang (Tanjungpura Berjuang, 1970:35). Di bekas reruntuhan Kerajaan Matan terdapat “Laut Ketinggalan” yang kiranya berhubungan dengan gelar Penembahan di Baroh. Alkisah ketika lahir putra raja, dikumpulkanlah ahli-ahli Nujum untuk melihat nasib putranya. Menurut ramalan, putra raja ini akan meninggal disebabkan oleh binatang air. Menjelang umur tiga atau empat tahun, Sang Putra ingin melihat laut, maka dibuatkanlah laut (kolam). Di baruh ditempat yang agak rendah sehingga mudah mengalirkan air ke dalam kolam Kemudian dimintanya pula agar lautnya itu diisi dengan binatang air, maka diisilah dengan berbagai jenis ikan dan sebagainya. Akhirnya dimintanya pula buaya. Dibuatkanlah buaya dari kayu persis seperti buaya yang sebenarnya dengan sisik dan taringnya. Betapa senangnya dia berhari-hari bermain dengan buaya kayu itu. Takdir menentukan terlukalah dia terkena taring buaya itu dan meninggal karenanya. Laut itu kemudian dinamai “Laut Ketinggalan”.
Pada masa Penembahan Baroh, agama Islam sudah mulai berkembang yang dibawa oleh orang Arab dari Palembang pada permulaan tahun 1550, tetapi Panembahan sendiri belum memeluk Islam.
Agaknya pendirian kerajaan Matan merupakan strategi penyelamatan dan pengamanan kedudukannya di Sukadana, apabila suatu ketika Sukadana semakin lemah pertahanannya akibat peperangan, perebutan hegonomi dan persaingan ekonomi perdagangan.

f). Gusti Aliuddin/ Giri Kesuma bergelar Panembahan Sorgi (1590-1604)
Setelah meninggalnya Penembahan Baroh, diangkatlah Giri Kesuma yang juga disebut Penembahan Sorgi. Dia adalah Penembahan yang pertama kali menganut agama Islam. Sejak itu dia sering berhalwat mendekatkan dirinya kepada Allah karena itu beliau bergelar Panembahan Sorgi. Pada zamannya datang utusan dari Makatulmasyrafah Syech Syamsudin, Imam Kari dan Kadi Jamal yang membawa bingkisan sebuah Alqur’an, sebentuk cincin permata yakkut merah dan baju kebesaran. (Gusti Maerat:1956:51).
Panembahan Sorgi menikah dengan Putri Mas Jaintan, anak Pangeran Purba Jayakesuma–Raja Landak. Penembahan Giri Kesuma memakai gelar Giri, mungkin pengaruh dari Jawa (Sunan Giri). Penembahan Giri juga dikenal dengan Raja Matan. Jadi, Matan sudah mulai berperan sebagai kerajaan disamping Sukadana seperti yang dikemukakan oleh H. J. De Graaf dan Pigeaud dalam bukunya “Kerajaan Islam Pertama di Jawa” (Grafiti : Jakarta, 1989:172) menyebutkan “… adanya perkawinan antara pangeran-pangeran Giri dengan putri setempat. Karena Raja Matan dari Sukadana yang mulai memerintah tahun 1590 memakai nama Giri Kesuma diduga ada pula pengaruh dari Giri di sana” (Ansar Rachman, Bab IV:118).
Perkawinan Giri Kesuma dengan Putri Mas Jaintan, melahirkan :
1. Gusti Kesuma Matan/Giri Mustika (bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin)
2. Ratu Surya Kesuma, menikah dengan Raja Tengah dari Brunei, berputrakan Raden Sulaiman, dia kawin
    dengan  Mas Ayu Bungsu putri Ratu Sepudak  Raja  Sambas.  Setelah  menjadi  Sultan  Sambas, Raden 
    Sulaiman  bergelar  Sultan Muhammad Syafiuddin,  mengambil nama pamannya. Raden Sulaiman lahir di
    Sukadana.
3. Raden Lekar kawin dengan Utin Periuk dari Meliau menjadikan keturunan Raja-Raja di sebelah Kapuas.
   (Silsilah Mempawah : 4)

g). Ratu Mas Jaintan (1604 – 1622)
Setelah mangkatnya Penembahan Giri Kesuma, sedang Putra Mahkota Giri Mustika masih kecil, maka oleh Majelis Kerajaan ditunjuklah Permaisuri Ratu Mas Jaintan sebagai Mangku Bumi dengan gelar Ratu Diatas Negeri. Pada masa Ratu Mas Jaintan terjadi perang Kendal. Sultan Agung dari Mataram mengirim armada yang dipimpin Bupati Kendal Baurekso (Baraksya) dan Irasyasa dengan tujuan memutuskan hubungan Sukadana – Surabaya (1622). Ratu Mas Jaintan akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Mataram (Tanjungpura Berjuang, 1970:36).

h). Gusti Kesuma Matan/Giri Mustika (Sultan Muhammad Syafiuddin) 1622 – 1665
Gusti Kesuma Matan/Giri Mustika putra Mas Jaintan, bergelar Sultan Muhammad Syafiuddin adalah raja pertama yang menggunakan gelar Sultan, gelar yang bernuansakan Islam. Pada masa Sultan Muhammad Syafiuddin terjadi perang Sanggau. Gusti Kesuma Matan mempunyai 3 orang anak :
1. Gusti Jakar Negara (bergelar Sultan Muhammad Zainuddin) Raja Matan yang pertama.
2. Pangeran Agung.
3. Putri Indra Mirupa (Indra Kesuma).

KERAJAAN MATAN
Raja – Raja Matan:
a). Gusti Jakar Negara (Sultan Muhammad Zainuddin) 1665-1724
Putra mahkota Gusti Jakar Negara bergelar Sultan Muhammad Zainuddin merupakan Raja Matan pertama. Dia telah mengalami beberapa peristiwa dalam pemerintahan di Sukadana. Sejak diserang oleh Sultan Agung dari Mataram tahun 1622 kekacauan demi kekacauan terjadi, dan gangguan bajak laut semakin merajalela sepanjang perairan pantai dan Selat Karimata, yang mengakibatkan semakin lemahnya pertahanan Sukadana sehingga membuat Sultan Muhammad Zainuddin mengalihkan pusat pemerintahannya ke Matan.
Pada masa pemerintahan Panembahan Baruh (1548-1550) telah merintis perluasan kekuasaannya ke daerah pedalaman sungai Melano, yaitu di Desa Matan, sekarang disebut Desa Batu Barat. Pengembangan pusat kekuasaan ke Matan ini, adalah juga dalam usaha mengembangkan agama Islam yang telah masuk di Sukadana.
Dengan pindahnya kerajaan ke Matan maka kosonglah Sukadana lebih 100 tahun lamanya. Penduduk migrasi ke pedalaman, menyusuri sungai Melano, Sungai Matan, sungai Bayeh dan bermukim di kampung Bukang, Banjor, Kembereh, Gerai, Kalam, Simpang Dua, Balaiberkuak dan sebagainya. Ketika penyunting tulisan ini, mengadakan perjalanan ke daerah pedalaman tahun 1967, bertemu dengan Pateh, Temegung, mereka menyatakan bahwa nenek moyangnya itu berasal dari Sukadana.
Di Matan agama Islam berkembang pesat dan syariat Islam dilaksana oleh rakyat. Sisa-sisa situs di Matan terdapat makam Syarif Qubra, Kari Jamal, Kolam Pemandian Putri Raja dan sebuah makam berhajrat tahun 11 Hijriyah. Ini kiranya tidak mungkin, karena Islam belum berkembang sampai kesini. Kemungkinan tahun itu bukan 11 tapi 110 atau 1100 Hijriyah sekitar abad ke 13 atau 14 Masehi. Ada dua pemakaman yang besar, pertama Pemakaman Raja-Raja di Matan itu sendiri dan kedua dibukit Sekusur penuh dengan makam, ini menandakan bahwa Kerajaan Matan itu adalah Kerajaan yang ramai dan besar, sayangnya karena sudah ratusan tahun lamanya tidak terpelihara sehingga kembali menjadi hutan belukar. Makam di Sekusur itu sampai sekarang dikeramatkan oleh penduduk setempat dan diabadikan dalam pantun “Sumpah Orang Matan”:
"Sekusur dipagar bukit – Bisik (berisi) keramat didaratnya. Hatiku bujur (lurus-ikhlas) dibuat sakit – Ndak (tidak) selamat pendapatnya".
Ketika pemerintahan di Matan inilah terjadinya peristiwa perpecahan dengan adiknya Pangeran Agung yang berusaha untuk merebut kekuasaan dan menyingkirkan Sultan Muhammad Zainuddin.
Atas bantuan lima bersaudara Daeng Menambun anak dari Opu Daeng Ralaka (Opu Daeang Perani, Opu Daeng Manambon, Opu Daeng Naraweh, Opu Daeng Kemasih, dan Opu Daeng Calak) yang datang dengan penjajab dan pencalangnya memasuki Sungai Melano sampai ke negeri Simpang. Berceritalah orang Simpang tentang hal ihwal Sultan Muhammad Zainuddin, maka merekapun segera berlayar dari Simpang ke Matan, mudiklah mereka di Sungai Matan ( batang Pawan ? ) sampai kepangkalan panembahan Agung di Matan.
Terjadilah perdebatan dengan menantu Panembahan Agung orang Bugis Daeng Mateku dan Haji Hafiz yang masih sepupu dua kali dengan lima bersaudara Daeng Menambun. Akhirnya Daeng Mateku dan Haji Hafiz bersedia mengundurkan diri keluar dari Matan. Kemudian masuklah lima bersaudara Daeng Menambun berhasil menangkap Pangeran Agung dan mengembalikan Sultan Muhammad Zainuddin ke tahta kerajaannya. (Silsilah Kerajaan Mempawah:23).
Sultan Muhammad Zainuddin mempunyai istri bernama Nyai Kendi, anak-anak mereka :
1. Gusti Kesuma Bandan bergelar Sultan Muhammad Muazzuddin
2. Nyai Tua  (Utin Kabanat)  kawin  dengan  Syarif Husin  melahirkan  Syarif  Abdurrahman  kelak   menjadi
    Sultan di Pontianak. Gelar Nyai merupakan gelar isteri orang yang ternama atau  gelar isteri raja. Nyai Tua
    adalah isteri gahara, istri yang tua, nama sebenarnya adalah Utin Kabanat.
    Isteri Gahara (Permaisuri)  Panembahan Simpang Gusti Rum dipanggil “Nyai Ratu” nama yang sebenarnya
    Tiak Aisyah. Jadi panggilan  Nyai  itu adalah sebutan  untuk isteri orang  yang  terpandang  pada umumnya
     isteri raja.
Dari istrinya yang lain Mas Inderawati berputra 6 orang :
1. Utin Kesumba bergelar Ratu Agung Senuhun kawin dengan Opu Daeng Menambun.
2. Pangeran Ratu.
3. Pangeran Mangkurat
4. Pangeran Agung Martadipura
5. Utin Kerupus
6. Utin Kerupis
Putri Kesumba anak tertua Sultan Muhammad Zainuddin yang kawin dengan Daeng Menambun beranak 10 orang :
1. Utin Damawan kawin dengan raja Landak.
2. Gusti Jamril bergelar panembahan Adijaya Kesumajaya jadi Raja Mempawah.
3. Gusti Jamadin bergelar Pangeran Cakra .
4. Utin Cenderasari jadi Ratu di Simpang.
5. Gusti Jadri bergelar Pangeran Mangku di Mempawah.
6. Ratu Surya Kesuma.
7. Gusti Jamal bergelar Gusti Panglima di Mempawah..
8. Utin Canderamidi kawin dengan Syarif Abdurrahman (Sultan Pontianak).
9. Gusti Sina – Gusti Bendara bergelar Pangeran Jaya Putra.
10.Utin Tawang. (Silsilah Kerajaan Mempawah : 4).

b). Gusti Kesuma Bandan (Sultan Muhammad Muazzudin) 1724 – 1738
Sultan Muhammad Zainuddin digantikan oleh putranya Gusti Kesuma Bandan yang bergelar Sultan Muhammad Muazzudin dan mempunyai tiga orang anak:
1 Gusti Bendung (Pangeran Agung) bergelar Sultan Muhammad Tajuddin.
2 Gusti Irawan, bergelar Sultan Mangkurat (Raja Kayong).
3 Gusti Muhammad Ali (bergelar Pangeran Mas). Gusti Muhammad Ali bertugas memungut hasil (upeti) dari daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Matan.

c). Gusti Bendung (Pangeran Ratu Agung) bergelar Sultan Muhammad Tajuddin 1738-1749
Pada masa Gusti Bendung yang bergelar Sultan Muhammad Tajuddin, Gusti Muhammad Ali tetap bertugas sebagai pemungut upeti. Dia menikah dengan Puteri Penembahan Sanggau, dan kemudian menjadi Raja Sanggau dengan gelar Penembahan Sanggau Surya Negara. Sultan Muhammad Tajuddin mempunyai lima orang anak: Gusti Kencuran, Gusti Lekar (Mekar), Gusti Tuntung, Gusti Kenkunang, dan Utin Lahang. Gusti Lekar (Mekar) menikah dengan anak Kiyai Meliau dan beranakkan tujuh orang, lima laki-laki dan dua perempuan. Dari keturunan Gusti Lekar inilah terlahir raja-raja di Meliau, Sekadau, Sintang, Belitang. (Gusti Maerat:1956:58).

d). Gusti Kencuran (Sultan Ahmad Kamaluddin) 1749 – 1762
Gusti Kencuran bergelar Sultan Ahmad Kamaluddin, mempunyai empat orang anak yang bernama: Gusti Asma, Gusti Bengkok, Utin Santan, dan Utin Belang.
Pada masa Sultan Ahmad Kamaludin, pamannya yang bernama Gusti Irawan (anak Sultan Muhammad Muazzudin) memohon kembali ke Muliakarta menjadi raja di sana dan diberi gelar oleh Sultan Achmad Kamaludin dengan gelar Sultan Mangkurat Raja Kayong (Matan). Kemudian terjadilah pembagian wilayah antara Simpang dan Kayong dengan batas Sungai Pawan. Sebelah kiri Sungai Pawan adalah wilayah Simpang, dan sebelah kanan Sungai Pawan adalah wilayah Kayong. Sedangkan, batas daratnya adalah:
1. Di daerah Kubing Sei. Laur (Penggenting Asah)
2. Di desa Baya (Kematanan Agol)
3. Di hulu Sei. Laur (Temberenang Pantap)
Kedua kerajaan ini dikenal dengan panggilan Kerajaan Simpang dan Kerajaan Kayong

e). Gusti Asma (Sultan Muhammad Jamaluddin) 1762 – 1814
Sultan Ahmad Kamaluddin digantikan anaknya yaitu Gusti Asma bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin yang kemudian mengalihkan kekuasaannya dari Matan ke Simpang, maka berakhirlah Dinasti Matan.

KERAJAAN SIMPANG MATAN
Kerajaan Simpang dinamakan demikian karena letaknya yang berada dicabang dipersimpangan dua sungai, satu cabang di sebelah kanan Sungai Matan, dan cabang sebelah kiri Sungai Pagu di Lubuk Batu. Jadi nama SIMPANG itu karena letaknya dipersimpangan dua sungai. Kerajaan Simpang tidak jauh dari Kerajaan Matan, hanya setengah hari perjalanan mudik dari Simpang sampailah ke Matan.
Karena hubungan emosional dan kedekatannya dengan Matan, maka Kerajaan Simpang mencantumkan nama Matan sehingga dikenal dengan Kerajaan Simpang Matan.
Kerajaan Simpang merupakan salah satu kerajaan yang terkenal di Nusantara sejak zaman Majapahit. Dalam Negara Kertagama, Mpu Prapanca menyebut pembagian Nusantara Majapahit atas 8 wilayah. Kalimantan masuk dalam Daerah III : … Len tekang nusa Tanjungnegara ri Kapuhas … Kadang mwang i Landak Lenri Samedang (Simpang) … ri Malano maka pramuka ta ri Tanjung puri. (Anshar Rahman:Tanjungpura Berjuang, 1970)
Kerajaan di Kalimantan Barat yang termasuk dalam wilayah Majapahit adalah Tanjungnegara (Tanjungpura, Kapuhas, Kandawangan, Landak, Simpang, Melano).

Raja-Raja Simpang Matan:
a). Gusti Asma (Sultan Muhammad Jamaluddin) 1762 – 1814
Sultan Ahmad Kamaluddin digantikan anaknya yaitu Gusti Asma bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin yang kemudian mengalihkan kekuasaannya dari Matan ke Simpang, maka berakhirlah Dinasti Matan.
Raja pertama Kerajaan Simpang Matan ini mempunyai empat orang anak, yaitu:
1. Gusti Mahmud, bergelar Panembahan Anom Suryaningrat.
2. Gusti Asfar,  bergelar  Pangeran  Adipati.  Dia kawin  di Landak,  melahirkan Gusti Arif yang menurunkan
    keturunan Raja Landak.  Kemudian  dia  kawin  lagi di  Tayan melahirkan  Gusti  Hasan yang menurunkan
    keturunan Raja Tayan.
3. Gusti Jamiril, dan
4. Utin Upih.
Pada masa pemerintahannya, Belanda sudah mulai masuk. Ajidan (William Adrian Palm?) wakil Belanda (VOC) di Betawi datang ke Pontianak hendak meminjam tanah untuk mendirikan kantor dagangnya. Melalui Syarif Abdurahman mengirim surat kepada Sultan Simpang-Matan memberitahukan maksud tersebut. Dalam balasan suratnya Sultan Muhammad Jamaluddin meminjamkan tanah seluas 1000 m2 dengan sewa per bulannya sebesar ƒ250 (uang waktu itu), dan apabila Ajidan (Adrian) pulang ke Belanda, maka tanah itu harus dikembalikan kepada Kerajaan Simpang. Kemudian Ajidan (Adrian) diantar Syarif Kasim menghadap Sultan Muhammad Jamaluddin di Simpang-Matan. Tahun 1779 Kantor Dagang VOC didirikan di Pontianak. Sebelumnya, pada tahun 1771 Syarif Abdurachman Alqadrie mendirikan pemukiman di Pontianak setelah mendapat restu dari Sultan Jamaluddin, dan tahun 1778 menyatakan dirinya sebagai Sultan Kerajaan Pontianak. Ajidan (Adrian) digantikan oleh Residen Suhar (Walter Markus Stuart). Melalui Residen Suhar (Stuart), Belanda menawarkan persahabatan dengan Sultan Simpang. Dia menghadap Sultan Muhammad Jamaluddin menyampaikan perintah dari Raja Belanda dan Gubernur Jenderal VOC di Betawi (Renier de Klerk) : Kata Rasiden Suhar kepada Sultan “Raja, adapun saya datang ini menghadap Raja, membawa perintah dari Raja saya yaitu Raja Belanda serta Jenderal VOC di Betawi hendak bersahabat kepada Raja disini” Maka dijawab Sultan “boleh bangsa engkau bersahabat dengan aku tetapi jika dapat bangsa engkau orang Belanda memaklumkan musuh dilaut itu” Bertanya Residen Suhar “musuh apa Raja, dilaut itu? ’Di jawab Sultan ‘Adapun musuh dilaut itu bangsa Lanun, bangsa bajak namanya. Jika engkau bangsa Belanda dapat memaklumkan, menangkapnya, mengamankan perairan pesisir pantai Simpang dan selat Karimata dari gangguan Lanun, bajak laut itu.
Salah satu sebab mengapa Sultan Muhammad Zainuddin memindahkan pusat pemerintahannya dari Sukadana ke Matan adalah serangan dan gangguan lanun, bahkan ketika pindah ke Matan pun Lanun pernah menyerang sampai masuk jauh ke sungai Melano, namun mereka terkecoh oleh Bukit Penggalang yang nampak melintang ditengah sungai, dikiranya sungai itu tidak ada hulunya (sungai buntu) akhirnya karena mengira terjebak dan takut diserang balik mereka tergesa-gesa mundur dengan membuang muatan peluru dan senjatanya ke sebuah lubuk di sungai Simpang, lubuk itu dinamai “lubuk senjata”
Kemudian setelah Residen Suhar pulang melaporkan hasil pertemuannya dengan Sultan Simpang kepada Jenderal di Betawi, dia datang kembali membawa perintah lagi dari Raja Belanda dan Jenderal di Betawi menawarkan jasanya untuk menolong Sultan Simpang dalam menjalankan pemerintahan, karena terlalu luasnya wilayah kerajaan, sehingga dengan bantuan itu Sultan tinggal menerima keputusan saja. Tawaran itu diterima Sultan dengan ketentuan harus menurut pemerintah Sultan dan tidak boleh berkuasa sendiri. Begitulah perjanjian dahulu dengan Sultan Muhammad Jamaluddin tidak ada Belanda berkuasa di Simpang ini karena bedil peluru dan meriamnya tetapi dengan segala tipu muslihatnya.
Percaya dengan janji dan persahabatan, maka Sultan mengirim sepucuk surat kepada Raja Belanda dan mengirimkan “Intan Sejima” yang diserahkan kepada Residen Suhar. Jenderal di Betawipun pergi ke negeri Belanda membawa surat serta Intan Sejima itu kepada Raja Belanda Willem. Setelah tiga bulan kemudian Residen Suhar membawa balasannya berupa uang harga Intan itu dan diserahkan kepada Sultan.
Pada zaman Sultan Muhammad Jamaluddin Belanda belum menguasai Kerajaan Simpang baru dalam batas perjanjian-perjanjin saja.

b). Gusti Mahmud (Panembahan Anom Suriyaningrat) 1814 – 1829
Gusti Mahmud adalah Raja pertama yang menggunakan gelar Panembahan karena gelar Sultan tidak diperbolehkan oleh Belanda untuk dipakai lagi “… te benoemen inlandschen vosrt, onder den title van panembahan….” (J.P.J.Barth 1879:17).
Di awal pemerintahan Gusti Mahmud, Belanda belum menguasai sepenuhnya kerajaan Simpang, masih terbatas dalam pelaksanaan perjanjian-perjanjian di masa Sultan Muhammad Jamaluddin: berupa perjanjian persahabatan, pengamanan perairan pesisir pantai dan Selat Karimata, serta bantuan dalam pengelolaan pemerintahan.
Pada zaman Pangeran Anom Suryaningrat ini telah terjadi perjanjian antara Kerajaan Simpang dan Kerajaan Matan (Kayong?) dengan Belanda oleh Komissaris Tobias yang ditandatangani tanggal 14 Juni 1823 di Simpang. Diperbaharui lagi tahun 1837 dan 1845.
Bermula penguasaan Kerajaan Simpang ini oleh Belanda, ditandai dengan penggantian residen dari Residen Suhar digantikan oleh Residen Litter. Dia menghadap Gusti Mahmud diperintahkan Jenderal di Betawi untuk meminta tanah di Sukadana dan Karimata. Berkata Gusti Mahmud bahwa tanah di Sukadana dan Karimata tidak boleh diminta, jika dipinjam boleh selama 4 turunan dan dibayar kerugiannya (sewanya) setahun ƒ4500 Setelah mendapat pinjaman Belanda berjanji di Sukadana dan Karimata itu hanya untuk mendirikan kantor (loji) sebagai pusat pengendalian pemberantasan lanun/bajak laut, namun ternyata yang dibangunnya tangsi-tangsi dan penjara untuk menempatkan serdadunya yang bertujuan sebagai basis untuk menguasai dan pengendalian daerah jajahannya. Dari tangsi inilah Belanda memerangi perlawanan rakyat Kerajaan Simpang dalam perang Belangkait dan perang Tumbang Titi dihulu Ketapang. Setelah mendapat pinjaman tanah Sukadana dan Karimata, Belanda mengganding Raja Akil dari Siak (Riau) yang juga sering disebut sebagai mayor Akil. Iapun diangkat sebagai Raja Sukadana. Nama Sukadana diganti dengan Niew Brussel (lidah Melayu menyebutnya Beresol). Setelah Raja Akil diangkat menjadi Sultan dengan gelar Abdul Jalil Yang Dipertuan Syah tahun 1828, hanya Sukadana sajalah yang boleh menggunakan gelar Sultan dan yang lainnya bergelar Panembahan (J. P. J. Barth, 1879:17).
Karena Raja Akil tidak disenangi dan disetujui oleh rakyat, maka timbullah perselisihan dengan Residen Belanda, maka setelah meninggal tahun 1849, jabatan Sultan dihapuskan dan penggantinya hanya bergelar Panembahan. (Ansar Rachman, Bab V:8)
Raja-raja Sukadana selanjutnya adalah sebagai berikut :
1. Panembahan Tengku Besar Anom (1849-1878)
2. Panembhan Tengku Putra (1878-1910)
3. Panembahan Tengku Andut (1910-1939)
4..Panembahan Tengku Abdul Hamid (1939-1940)
5. Panembahan (Dokoh) Muhammad Idris (1940-1943)
6. Panembahan Tengku Muhammad (1943-1946)
7. Panembahan Tengku Adam
Tahun 1959 Kerajaan/Swapraja Sukadana dihapuskan, sementara itu saudara dari Raja Akil diangkat menjadi penguasa di Kepulauan Karimata:
1. Kepala Kepulauan Karimata Tengku Ja`far (1833) kawin dengan cucu Batin Galang Setia Raja.
2. Kepala Kepulauan Karimata Tengku Bujang (1863)
3. Kepala Kepulauan Karimata Tengku Panglima Abdul Jalil (1866)
Begitulah akhirnya Kerajaan Simpang dikuasai oleh Belanda dan gelar keSultanan dihapuskan dan hanya boleh menggunakan gelar Panembahan, maka Gusti Mahmud Raja Simpang yang pertama memakai gelar Panembahan, dengan gelar Panembahan Anom Suriyaningrat. (Gusti Maerat 1956:64).
Gusti Mahmud mempunyai sembilan orang anak dari beberapa isterinya, yaitu:
- Gusti Muhammad Roem bergelar Pangeran Kesumayuda.
- Gusti Madina bergelar Pangeran Nataningrat
- Gusti Nalar bergelar Pangeran Suria.
- Gusti Kupah bergelar Pangeran Putera.
- Gusti Pandang bergelar Pangeran Perdana Menteri, kawin di Kayong dengan Utin Ayu anak Sultan Anom.
- Gusti Makrifat, Gusti Mengkaning, Gusti Agus tidak berpangkat\ bergelar, Utin Majelis (Gusti Maerat, 1956:64).
Pada akhir pemerintahan Gusti Mahmud Residen Belanda yang bernama Suhar digantikan Residen Litir.

c). Gusti Muhammad Roem (Panembahan Anom Kesumaningrat) 1829 - 1874
Gusti Muhammad Roem (Pangeran Kesumayuda) setelah naik tahta bergelar Panembahan Anom Kesumaningrat mempunyai anak 39 orang dari beberapa isterinya diantaranya :
- Gusti Panji setelah menjadi raja bergelar Panembahan Suryaningrat.
- Gusti Roem setelah menjadi raja bergelar Panembahan Gusti Roem
- Gusti Rajuna, bergelar Pangeran Mangku.
- Gusti Itam
- Gusti Merkum,
- Gusti Kalayumdan,
- Gusti Mursal

d). Gusti Panji ( Panembahan Suryaningrat ) 1874 - 1919
Diawal pemerintahan Panembahan Suryaningrat agaknya Belanda menaruh perhatian yang besar karena tentunya berdasarkan kepentingannya sehingga perlu mengadakan pendekatan untuk mempererat persahabatan yang nantinya menerapkan perjanjian-perjanjian. Mungkin dalam usaha yang demikianlah sehingga Belanda menganggap perlu menyampaikan berita kematian Willem III kepada Panembahan Suryaningrat dengan Surat Khusus dari Gubernur Jenderal Mr. Cornelis Pijnacker hordijn (1889-1893) tertanggal 14 Januari 1891 yang merupakan berita dukacita memberi tahukan bahwa Raja Belanda Willem III telah meninggal pada tanggal 23 Nopember 1890 dalam usia 73 tahun 9 bulan 4 hari.
Surat yang telah dialih aksarakan dari tulisan Arab Melayu ke Latin selengkapnya adalah sebagai berikut :

K A U K U L H A K .
“Bahwa inilah warkatul ikhlas wa tahkatul ijjenas yang terbit daripada pusat kita yang termaktub didalamnya dengan beberapa tabik dan selamat. Yaitu dengan kita Seri Paduka Yang Dipertuan Besar Gubernur Jenderal atas tanah air Hindia Nederland Mr. Cornelis Pijnacker Hordijn dari yang terhias dengan bintang besar Komanda Singa Nederland yang bersemayam diatas tahta kerajaan serta kemuliaan dan kebesaran di dalam Betawi. Apalah kiranya diusulkan oleh Tuhan Seru Sekalian Alam kehadapan Paduka Tuan Panembahan Suryaningrat yang beristirahat alhariri di dalam negeri Simpang. Mudah-mudahan dilanjutkan Allah seumur zaman di dalam sehat wal afiat. Wabadu kemudian daripada itu maka adalah kita mengirimkan warkatullah ini kepada Paduka sahabat kita akan memaklumkan kabar dari negeri Nederland yang menjadikan dukacita yaitu Maha Baginda Raja Olanda yang Maha Mulia Wilhelm Yang Ketiga. 23 hari bulan Nopember 1890 dengan takdir Tuhan Yang Maha Tinggi telah meninggal didalam umur 73 tahun 9 bulan 4 hari. Sesudah gering beberapa lama ialah bagi kita dikasihani dan dicintai oleh segala masyarakat memegang pemerintahan dengan adil dan penuh kasih sayang kepada sekalian anak buah dan dengan bijaksana yang sekarang sangat berdukacita karena sebab kematiannya.
Bahwa karena Seri Paduka yang Dipertuan Puteri anakanda baginda itu yang tua yang bernama Wilhelmina Helena Maria yang sekarang jadi gantinya baginda, bahwa pada umur 10 tahun, maka selama tuan puteri belum berakil baliq maka yang memerintah Kerajaan Belanda dan pejabat wakil raja yaitu Yang Dipertuan Permaisuri isteri baginda marhum Wilhelm yang ketiga yaitu Athalia Wilhelmina Theresia. Oleh karena mangkat ….baginda dengan dukacita yang amat sangat besarnya.
Termaktub dinegeri Olanda pada 14 hari bulan Januari tahun 1891”.(Ansar Rahman, 2000:285).

Begitulah ikatan persahabatan yang ditunjukkan oleh Belanda.
Gusti Panji mempunyai 21 anak, 13 laki-laki dan 8 orang perempuan diantaranya, yaitu ;
1. Gusti Mansur (berpangkat Pangeran Ratu), mempunyai anak; Gusti Kencana, Gusti Mahmud, Gusti
    Achyar, Utin Mina, Utin Tahara, Utin Karyasin.
2. Gusti Samba (berpangkat Pangeran Kesumayuda), mempunyai anak; Gusti Kintil, Gusti Jamadin, Gusti
    Bandan, Gusti Usman, Utin Ranas, Utin Ubit, Utin Ucil, Utin Perak, dan Utin Ating.
3. Gusti Ismail (berpangkat Pangeran Kesumayadi), mempunyai anak; Gusti Nabat, Gusti Hamzah, Gusti
    Maskat, Utin Serkaya, Utin Bedarih.
4. Gusti Tamjid (berpangkat Pangeran Kesuma Anom), mempunyai anak; Gusti Mahira (Maerat), Utin Sila,
    Utin Sinar Midi, Utin Mahrani, Utin Bugur, Utin Jematin, Utin Mahniaran.
5. Gusti Muhammad Kasim (berpangkat Pangeran Adi), mempunyai anak; Gusti Jelma, Gusti Hidayat, Gusti
    Citil, Gusti Mekah, Gusti Abdulhamid, Gusti Man, Utin Selindit, Utin Ranik, Utin Kuna, Utin Sibar, Utin
    Fatimah, Utin Ayu.
6. Gusti Mahdewa, tidak berpangkat mempunyai anak; Gusti Busri, Gusti Lanang, Gusti Baguk, Utin
    Sitimanya, Utin Unung.
7. Gusti Masdar, tidak berpangkat mempunyai anak; Gusti Basuni, Gusti Abdulwahab, Gusti Arif, Utin Ayu.
8. Gusti Cerana,
9. Gusti Muskan,
10. Gusti Megat,
11. Gusti Dahlan,
12. Gusti Serban,
13. Gusti Sendang.
Pada masa Panembahan Gusti Panji terjadi Perang Belangkait yang terjadi akibat adanya pertentangan dengan penjajahan Belanda. Bermula dari gagalnya Belanda membujuk Panembahan untuk menandatangani Kontrak Pendek (Korte Verklaring). Kemudian Panembahan ditangkap namun kapal yang penuh dengan tentara itu berjalan miring sebelah, dan akhirnya kapal tersebut mendarat dekat sebatang pohon dungun yang besar. Pohon dungun itu disebut penduduk dengan “Dungun Kapal”.
Karena tidak berhasil membujuk dan menawan Panembahan, maka Belanda memaksakan sendiri isi Kontrak Pendek itu dengan memaksa rakyat unruk membayar pajak (blasting). Pemaksaan inilah yang membangkitkan semangat rakyat untuk menentang penjajahan yang dipimpin oleh Patih Kampung Sepucuk bergelar Hulubalang I yang bernama Abdusamad dan terkenal dengan panggilan “Ki Anjang Samad” dengan semboyannya “Daripada membayar blasting dengan Belanda lebih baik mati”. Panembahan Gusti Panji sendiri turun ke kampung-kampung membakar semangat rakyatnya untuk melawan penjajahan.
Dalam keadaan yang sudah siap perang datanglah sepasukan suku Dayak dari hulu Tumbang Titi utusan dari Uti Usman (pemimpin perang Tumbang Titi di hulu Ketapang). Pasukan itu dipimpin Panglima Ropa dengan panglima-panglima: Ida, Gani, Enteki, Etol, dan Panglima Gecok. Dengan 20 panglima dan banyak prajurit, mereka menyerang Sukadana. Akan tetapi tangsi Sukadana telah kosong, jadi mereka melanjutkan menyerang Loji (Kantor Belanda) di Pulau Datok. Namun disana juga kosong karena Belanda mengosentrasikan pasukannya di Tumbang Titi untuk menghadapi Uti Usman.
Beberapa hari kemudian, datanglah sepasukan Belanda dengan Kapal Bukat yang dipimpin oleh Letnan Obos dan Tuan Sepak. Terjadilah pertempuran berseberangan sungai di Kampung Belangkait. Setelah terbunuhnya Ki Anjang Samad di hari pertama dan Patih Kembereh di hari kedua, dan tertangkapnya lima orang panglima yang kemudian di tawan di Sukadana, akan tetapi panglima lainnya tetap
melanjutkan perang gerilya. Empat dari lima panglima yang dipenjara meninggal di penjara Sukadana tinggal Panglima Enteki setelah beberapa tahun kemudian dibebaskan (Gusti Mulia, 1967:3).
Pada masa Panembahan Gusti Roem di Kerajaan Simpang Teluk Melano, ada yang bergerak melanjutkan perang Belangkait dengan tidak secara fisik berhadapan langsung dengan penjajah Belanda, tetapi dengan cara sosial dan politik seperti yang dilakukan oleh Gusti Hamzah. Gusti Hamzah adalah anak Gusti Ismail, cucu dari Gusti Panji. Ia meneruskan cita-cita perjuangan dengan teman-temannya dari daerah lain yang aktif dalam organisasi Syarikat Islam yang dibekukan Belanda pada tahun 1919. Kemudian dengan dipelopori oleh Gusti Sulung Lelanang mendirikan Syarikat Rakyat (1923).
Pada tahun 1926 atas perintah Gubernur Jendral D. Fock mengadakan penangkapan dan pembunuhan terhadap anggota organisasi yang dianggap berbahaya, termasuk Gusti Hamzah yang kemudian dijebloskan ke penjara, dan diasingkan ke Boven Digul. Gusti Hamzah baru dibebaskan 11 tahun kemudian dan dipulangkan pada tahun 1938, dan ditahan di penjara Sukadana (Ansar Rachman:291).

e). Gusti Roem (Panembahan Gusti Roem/Panembahan Anom Kusumangrat ) 1911 – 1942
Gusti Roem mempunyai delapan orang anak perempuan dan enam anak laki-laki dari enam orang istrinya, yaitu: Gusti Umar (Menteri Polisi), Gusti Mesir (Panembahan Simpang), Gusti Tawi (Menteri Tani) ketiganya ini menjadi korban fasisme Jepang pada tahun 1943. Anaknya yang lain, yaitu : Gusti Bujang, Gusti Ja’far, Gusti Abdurrahman (Monel), Utin Baiduri (Otek) kawin dengan Tengku Idris/Tengku Betong Panembahan Sukadana korban fasisme Jepang tahun 1943. Utin Aminah (Are) kawin dengan Tengku Ismail, Utin Syaidah (Ayu Moceh) kawin dengan Jidi, Utin Halijah (Ijon), Utin Jamilah (Entol) kawin dengan Tengku Muhtar, Utin Epot kawin Raden Saleh, Utin Temah kawin dengan Tengku Ajong jadi korban fasisme Jepang tahun 1943, dan Utin Ayu. Kawin dengan Daeng Dolek.
Gusti Roem diangkat Belanda menjadi Panembahan Simpang sehubungan dengan Perang Belangkait yang berakhir pada tahun 1913. Semula Gusti Roem menolak untuk diangkat menjadi Panembahan Simpang, namun Belanda mengancam akan menyerahkan Kerajaan Simpang kepada keturunan Raja Akil di Sukadana yang berarti lenyaplah keturunan raja-raja Tanjungpura, Sukadana, Matan, dan Simpang, dan berarti pula wilayah kerajaan akan menjadi kekuasaan keturunan Raja Akil. Dengan rasa berat, Gusti Roem menyampaikan hal ini kepada Panembahan Gusti Panji dengan mengutus Kiyai Na’im dari Pulau Kumbang. Sejak diangkatnya Gusti Roem, maka terjadilah dua Panembahan kembar di Kerajaan Simpang dengan membiarkan Gusti Panji mengakhiri kekuasaannya sampai ia meninggal dunia pada tahun 1920 di istana Kerajaan Simpang, dan di makamkan di pemakaman Raja-Raja di Simpang.
Kemudian Gusti Roem membangun kedudukan di Telok Melano. Nama Melano sudah terkenal sejak masa Singosari dan Majapahit dalam Babad Negarakartagama Mpu Prapanca. Gusti Roem menandatangani Korte Verklaring yang berarti menyerahkan penyelenggaraan pemerintahan kepada Belanda. Pada Cap Kerajaan tercantum kata “HET NENERLANDSCH INDISCH GOUVERNEMENT AAN DEA PANEMBAHAN VAN SIMPANG”
Dalam usahanya mengikat kembali wilayah Kerajaan yang lepas dari kekuasaannya yang dahulu dipinjamkan kepada Belanda yaitu Sukadana dan Karimata, Panembahan Gusti Roem menggunakan pendekatan Politik Perkawinan. Beliau kawin dengan Tengku Sariah keturunan Raja Akil di Sukadana dan kawin dengan Tengku Sa’diyah dari Karimata keturunan Kepala Kepulauan Karimata Tengku Ja’far.
Kemudian Beliau kawinkan puterinya Utin Baiduri dengan Tengku Idris (Tengku Betung) Panembahan Sukadana yang menjadi korban fasisme Jepang. Dan mengawinkan Utin Aminah dengan Tengku Ismail dari Sukadana.
Dengan sistem perkawinan ini terikat kembali dalam hubungan kekeluargaan dari wilayah yang pernah lepas dari Kerajaan Simpang. Beliau meninggal sebagai korban fasisme Jepang pada tahun 1943.

f). Gusti Mesir (Panembahan Gusti Mesir) 1942 – 1944
Gusti Roem mengangkat penggantinya Gusti Mesir dari putra Ratu yang bungsu. Pada masa Panembahan Gusti Mesir keadaan perekonomian mengalami masa yang cerah dengan sumber utama dari hasil hutan dan kebun, terutama karet. Berakhirnya kemakmuran rakyat Simpang dengan datangnya Jepang pada tahun 1942. Rakyat mengalami penderitaan yang berat, kesulitan sandang dan pangan, sehingga rakyat makan ubi, sagu, dan berkain/celana goni dan berbaju kapuak (kulit kayu) ditambah dengan teror yang dilakukan Jepang dan kaki tangannya. Pada peristiwa penangkapan raja-raja tanggal 23 Desember 1943 yang datang diundang Jepang untuk menghadiri suatu pertemuan di Pontianak kesemuanya dibunuh Jepang, kecuali Gusti Mesir yang waktu itu dibebaskan atas bantuan Tuan Siama Kepala Maskapai Durian Sebatang. Ketika memenuhi undangan ke Pontianak itu, Gusti Mesir berangkat bersama Mas Raijin iparnya yang selalu diikut sertakan sebagai pembantunya untuk mempersiapkan semua keperluan selama berpergian. Begitu dia dibebaskan dimintanya pula iparnya Mas Raijin agar dibebaskan. Namun sulit sekali untuk mencari Mas Raijin dari semua tawanan yang banyak itu yang disungkup dengan karung selipi dan hanya dilobangi sekedar untuk dapat melihat saja. Untunglah dia akhirnya dapat ditemukan, karena ketika dalam barisan yang panjang, tawanan yang disungkup itu sedang berjalan, maka tampaklah seorang diantaranya yang berjalan pincang. Itulah keberuntungan Mas Raijin karena kakinya pincang, selamat ia dari samurai Kempetai Jepang.
Setelah beberapa hari dibebaskan, berkumpullah semua penggawa, patih, demong, para kiyai serta kerabat kerajaan untuk bermusyawarah di istana Panembahan yang dipimpin oleh Penggawa Uti Hamzah. Pertemuan itu dimaksudkan untuk mencari jalan bagaimana menyelamatkan Panembahan. Ada yang menyarankan agar melawan Jepang, ada yang mengusulkan supaya diisukan meninggal karena ditangkap buaya – sebab waktu itu buaya sedang mengganas sehingga banyak penduduk menjadi korban. Ada pula yang mengusulkan agar lari bersembunyi ke pedalaman. Semua alternatif itu dengan halus ditolak Panembahan karena semuanya tidak rasional dan bakal mengorbankan rakyat sendiri. Beliau menyatakan: “Biarlah aku yang menjadi korban, asal jangan rakyat”.
Dalam keadaan seperti itu, ada berita tentang pelarian dari Pontianak – Kepala Staatwach (mata-mata) Belanda. Maka, datanglah Jepang dari Ketapang dan Sukadana mencarinya dan penduduk diminta membantu penangkapan pelarian tersebut. Akhirnya pelarian itu tertangkap di Rantau Panjang dan langsung dibawa ke Ketapang. Selang beberapa hari setelah ditangkapnya staatwach itu, datanglah ‘motor cabang’ dengan dua orang Kempetai yang ternyata bertugas untuk membawa menangkap Panembahan Gusti Mesir. Kemudian ikut dibawa pula Gusti Tawi. Dari Telok Melano terus ke hulu Sungai Mata – Mata mengambil Gusti Roem (Panembahan Tua), terus mudik lagi ke Sungai Pinang mengambil Gusti Umar. Supir Gusti Roem yang bernama Dolah, Bujang Kerepek, dan Tengku Ajung (menantu Gusti Roem) juga ditangkap. Menurut cerita Utin Tahara (istri dari Gusti Mesir semasa hidup tahun 1950-an) setelah Gusti Mesir kembali dari Pontianak pada waktu penangkapan pertama itu, dia berkata bahwa Jepang nanti pasti akan datang lagi untuk menagkapnya. Itulah sebabnya beliau pada waktu itu selalu dalam keadaan siap dan tidak melepaskan pakaiannya baik siang maupun malam, bahkan tidurpun beliau masih mengenakan sepatu.
Seminggu kemudian setelah Panembahan Gusti Mesir ditangkap untuk kedua kalinya itu kempetai-kempetai Jepang itu datang lagi ke istana dan langsung memeriksa semua bagian-bagian rumah, setiap kamar, lorongan, bahkan kamar mandi. Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa dan merekapun tidak menyatakan sesuatu apapun. Beredar isu bahwa Jepang mencari dua orang tawanan yang hilang yang dimaksud adalah Panembahan Gusti Mesir dan Panembahan Saunan.
Gusti Mesir memiliki lima orang anak yang kesemuanya laki-laki, yaitu: Gusti Ibrahim, Gusti Abdulmuthalib, Gusti Muhammad Mulia, Gusti Mahmud, dan Gusti Mastur.

g). Gusti Ibrahim
Sebagai pengganti Panembahan Gusti Mesir, putra mahkota Gusti Ibrahim sesuai dengan adat kerajaan yang berlaku diangkat melalui musyawarah lima suku, yaitu: Maya, Mengkalang, Siring, Priyayi, Mambal dan dilengkapi pula dengan keturunan dari Panca.
Pengangkatan Panembahan ini atas perintah dari Tuan Bunkenkanrikan Sukadana yang dilaksanakan pada 1 Kugatau 2605. Oleh karena Gusti Ibrahim baru berusia 14 tahun dan masih sekolah, maka ditunjuklah Gusti Mahmud (Pangeran Ratu) bin Gusti Mansur sebagai Mangkubumi. Sampai sekarang Gusti Ibrahim belum dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Simpang Matan.
Selengkapnya pengangkatan Gusti Ibrahim sebagai berikut :

CATATAN HASIL
PENUNJUKKAN DOKOH KERAJAAN SIMPANG

Pada hari ini Sabtu tanggal 1 Kugatau 2605, saya Mastart Dingang, Simpang Zitiryo Yogikai Gityo, menurut perintah dari paduka Tuan Sukadana Bunkenkanrikan telah membuat rapat Yogikai dengan cepat sehingga tidak sempat dilakukan menurut syarat-syarat peraturan Majelis Kerajaan Simpang. Berhadir :

Gusti Intan, Yogikai Giin.
Uti Hamzah, Ketua Komisi.
Lim Tek Sun, Lothay.
Busu, Syonco Kota.

Menurut adat istiadat penunjukkan Raja-Raja Simpang dilakukan oleh wakil-wakil dari golongan turunan-turunan Siring, Mambal, Mengkalang, Maya, Periyai dan Panca.

Selaku wakil-wakil tersebut berkhadir:

Wakil Siring : Adikasuma Manteri Perawat.
Wakil Mambal : S a h m i n .
Wakil Mengkalang : ……………………………..
Wakil M a y a : Johan Syonco II Penjalaan Hulu.
Wakil Priyai : Raden Gondel Syonco Rangkap.
Wakil Panca : Rasip Syonco II Sungai Padu.

Maka dengan memperhatikan dari turunan yang lurus, telah ditunjukkan sebagai Simpang Syuco :

GUSTI IBRAHIM BIN GUSTI MESIR

Dan oleh karena Gusti Ibrahim baru berumur 14 tahun dan masih bersekolah, ditunjukkan juga dia punya Mangku Bumi bernama :

GUSTI MAHMUD BIN GUSTI MANSUR (Pangeran Ratu)


Telok Melano, 1 Kugatau 2605


Syanco Kota dtt. BUSU a.n. Simpang Zitiryo Yogikai Gityo,

Lothay dtt. Lim Tek Sun d.t.t.


Ketua Komisi dtt. Uti Hamzah MASTERT DINGANG

h). Gusti Mahmud (Mangku Bumi) 1945 – 1952
Kekosongan jabatan Panembahan Simpang dikarenakan Panembahan Gusti Mesir menjadi korban fasisme Jepang dari tahun 1943 sanpai 1945. Diakhir kekuasaan Jepang tahun 1945 diangkatlah Gusti Ibrahim sebagai Panembahan Kerajaan Simpang dengan Mangku Bumi Gusti Mahmud. Gusti Mahmud menjalankan pemerintahan sebagai Kepala Swapraja Simpang sampai meninggal dunia tahun 1952.

PENGHAPUSAN SWAPRAJA
Setelah berlakunya Undang-Undang No.27 tahun 1959 semua Swapraja di Kalimantan Barat telah lebur, dan pada tanggal 4 Juli 1959 pemerintahan tersebut beralih kepada Pemerintahan Daerah. Berdasarakan Instruksi Gubernur KDH. Propinsi Kalimantan Barat tertanggal 29 Februari 1960 No. 376/Pem-A/1-6 Pemerintahan Swapraja diserah terimakan pada Pemerintah Daerah, dengan ketentuan
- Bekas wakil Panembahan Sukadana dibantukan pada Kantor Wedana Sukadana.
- Anggota-anggota Majlis Swapraja Matan dibantukan pada Kantor Pemerintah Daerah tingkat II
   Ketapang.
- Semua pegawai-pegawai bekas Swapraja dialihkan menjadi Pegawai Daerah Tingkat II Ketapang.
- Semua inventaris Swapraja menjadi inventaris Pemerintah Daerah Tingkat II Ketapang.
- Swapraja Simpang tidak mengalami kesulitan, karena sebelumnya terlebih dahulu menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah daerah Kabupaten Ketapang sedang personilnya diperbantukan pada Kantor Camat Simpang Hilir di Telok Melano.

(Disunting dari Buku Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura, Gusti Mhd. Mulia)

Sabtu, 29 Mei 2010

MUTIARA SIMPANG

Berakhirnya perang Belangkait, bukan berarti usainya perjuangan. Karena semangat juang rakyat Kerajaan Simpang yang dipimpin langsung Panembahan Gusti Panji dengan panglima Ki Anjang Samad tetap hidup. Perjuangan menantang kolonialisme Belanda yang tadinya dilakukan secara fisik bersenjata, berhubung dengan situasi dan kondisi dimasa Pemerintahan Panembahan Gusti Roem (1911 – 1942) diubah dengan cara sosial politik.
Gusti Hamzah anak Gusti Ismail cucu Gusti Panji dari Kerajaan Simpang sebagai penerus dari cita-cita ini bersama dengan rekan-rekannya dari daerah lain aktif dalam organisasi Syarikat Islam yang dibekukan pada tahun 1919. kemudian dengan dipelopori oleh Gusti Sulung Lelanang berasal dari Landak yang baru kembali dari Jawa, mereka mendirikan Syarikat Rakyat sebagai kelanjutan dari Syarikat Islam (1923). Pada tahun 1926, Gubernur Jendral D. Fock memerintahkan penangkapan dan pembuangan terhadap anggota-anggota organisasi yang dianggap berbahaya oleh pemerintah setempat.
Gusti Hamzah bersama 9 orang temannya dari Kalimantan Barat dijebloskan ke penjara. Kemudian dengan Governements besluit dd. 1 April 1929 No. 3X diasingkan ke Digul (Irian Barat). Penangkapan dan pembuangan mereka ini berlandaskan exorbitante rechten suatu hak dan kekuasaan yang dimiliki oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Mereka itu adalah:
1. Gusti Sulung Lelanang dari Landak
2. Mohammad Sohor dari Landak
3. Djaranding Abdurahman dari Kapuas Hulu
4. Gusti Situt Mahmud dari Landak
5. Ahmad Marzuki dari Landak
6. Ahmad Sood dari Landak
7. H. Rais Abdurrahman dari Kota Pontianak
8. Gusti Hamzah dari Kerajaan Simpang
9. Gusti Hambal dari Landak
10. Gusti Djohan Idrus dari Landak
11. Sabran dari Landak

Kepulangan mereka tidak bersamaan, Gusti Hamzah dan Gusti Sulung Lelanang setelah 11 tahun dipengasingan baru dipulangkan pada tahun 1939.
Gusti Hamzah setelah dipulangkan dari Digul masih ditahan di penjara Sukadana. Setelah bebas dari tahanan penjara Sukadana, Gusti hamzah kembali ke Simpang Melano kemudian mendirikan koperasi. Namun demikian, pendudukan fasisme Jepang di kalimantan Barat dengan pembunuhan massalnya telah menyapu bersih semua ex Digulis ini.
Atas jasa dan perjuangan mereka dalam hal ini Menteri sosial telah menghadiahi mereka sebagai PERINTIS PERGERAKAN KEBANGSAAN/ KEMERDEKAAN melalui Surat Keputusan No. Pol. 297/70/PK/Anum tanggal 30 Maret 1990. Nama mereka pun telah diabadikan pada sebuah monumen Perintis Kemerdekaan yang terletak di Jalan Ahmad Yani, di bundaran Universitas Tanjungpura Pontianak Kalimantan barat, dan diabadikan namanya pada salah satu jalan di Kota Pontianak. Lihat juga di http://www.pontianakpost.com/?mib=berita.detail&id=25275